Eksistensi Politik Aliran Di Jawa Timur Dalam Kontestasi Pemilu Tahun 2019
Nama : Izam Bagus Kurniawan
NIM : 175120607111028
No Absen : 27
Abstrak
Demokrasi telah menjadi sebuah sistem dimana rakyat memiliki kebebasan yang tinggi
dalam mencapai sebuah negara dengan masyarakat yang tidak memiliki tekanan dari
negara. Rakyat dianggap sebagai wakil tuhan dengan menggantikan peristiwa
renaissaince yang otoritas tertingginya berada di tangan pemimpin agama. Dalam hal
ini, penerapan demokrasi di Indonesia telah mengalami berbagai tahap sebagai uji
coba untuk mendapatkan tujuan dari demokrasi yang sebenarnya. Politik aliran adalah
kelompok sosiobudaya yang menjelma sebagai organisaisi politik. Eksistensi dari
politik aliran memang masih terasa kental di daerah Jawa Timur. Ini dikarenakan faktor
historis yang melatarbelakangi mereka dalam mengikuti kontestasi pemilu dimana
mereka saling membentuk oraganisasi masing-masing untuk memberikan identitas
mereka kepada publk. Dalam pemilu tahun 2019 ini pun masih sangat terlihat
pengaruh dari adanya politik aliran yang dipakai oleh para politisi untuk memenangkan
dirinya dalam kontestasi pemilu tahun 2019. Hal ini juga terlihat dari salah satu capres
yang sangat membawa politik aliran dalam pencalonannya, dimana sang presiden
berasal dari partai yang dianggap maysarakat merupakan partai abangan dan
wakilanya merupakan seorang perwakilan dari golongan santri. Namun yang perlu kita
ambil adalah ketika memang politik aliran tidak dapat dihilangkan dalam kontestasi
pemilu, maka yang perlu kita lakukan adalah mengubah arah politik aliran tersebut
yang awalnya merupakan faktor yang membuat sebuah perpecahan menjadi sebuah
persatuan.
Kata Kunci : Politik aliran, Demokrasi, Pemilu.
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Demokrasi telah menjadi sebuah sistem dimana rakyat memiliki kebebasan
yang tinggi dalam mencapai sebuah negara dengan masyarakat yang tidak memiliki
tekanan dari negara. Rakyat dianggap sebagai wakil tuhan dengan menggantikan
peristiwa renaissaince yang otoritas tertingginya berada di tangan pemimpin agama.
Dalam hal ini, penerapan demokrasi di Indonesia telah mengalami berbagai tahap
sebagai uji coba untuk mendapatkan tujuan dari demokrasi yang sebenarnya. Namun,
dari berbagai tahap tersebut muncul berpagai hal yang sampai sekarang tetap melekat
dalam diri masyarakat yang membentuk sebuah kelompok-kelompok yang saling
memiliki rasa perbedaan satu sama lain. Hal ini terjadi karena adanya sebuah konflik
kecil yang memicu adanya konflik besar sehingga dari beberapa masyarakat memilih
jalan yang berbeda untuk mewujudkan hal yang mereka yakini merupakan
kebenaranya.
Peristiwa yang paling mencolok dalam hal ini merupakan adanya politik aliran
yang terjadi di Jawa Timur sekitar tahun 1950-an. Golongan yang sering di kaitkan
adalah golongan santri yang berasal dari para ulama dan golongan abangan yang
diaritkan sebagai islam yang memiliki sifat melenceng dari agama islam itu sendiri. Hal
ini masih menjadi pengaruh kuat dalam pikiran masyarakat untuk memilih dari
golongan apa para wakil yang akan mereka pilih. Hal ini sangat menarik karena tradisi
yang telah ada sejak tahun 1950 tersebut masih tetap dilakukan oleh beberapa
masyarakat di Jawa Timur dan pasti dibalik hal tersebut ada kelompok tertentu yang
memanfaatkannya untuk melakukan suatu tindakan yang memiliki kentungan yang
besar.
Eksistensi dari politik aliran memang masih terasa kental di daerah Jawa Timur.
Ini dikarenakan faktor historis yang melatarbelakangi mereka dalam mengikuti
kontestasi pemilu dimana mereka saling membentuk oraganisasi masing-masing untuk
memberikan identitas mereka kepada publk. Dalam pemilu tahun 2019 ini pun masih
sangat terlihat pengaruh dari adanya politik aliran yang dipakai oleh para politisi untuk
memenangkan dirinya dalam kontestasi pemilu tahun 2019. Hal ini juga terlihat dari
salah satu capres yang sangat membawa politik aliran dalam pencalonannya, dimana
sang presiden berasal dari partai yang dianggap maysarakat merupakan partai
abangan dan wakilanya merupakan seorang perwakilan dari golongan santri. Hal ini
yang kemudian membuat politik aliran kembali menjadi fokus utama dalam masyarakat
di Jawa Timur, karena kepercayaan mereka tetap utuh, meski telah mengalami
pergantian zaman yang cukup jauh.
Adanya politik aliran memang sudah tidak bisa kita singkirkan, karena itu
merupakan faktor yang sudah dibuat oleh kakek nenek kita dulu. Namun yang perlu
kita ambil adalah ketika memang politik aliran tidak dapat dihilangkan dalam kontestasi
pemilu, maka yang perlu kita lakukan adalah mengubah arah politik aliran tersebut
yang awalnya merupakan faktor yang membuat sebuah perpecahan menjadi sebuah
persatuan. Dengan demikian makan akan tercipta demokrasi tanpa ada diskriminasi
terhadap salah satu golongan, karena kita tidak dapat menghilangkan label golongan
tersebut, selama kepercayaan masyarakat terhadap hal tersebut masih sangat kuat.
Tujuan
Tulisan ini ditujukan untuk lebih mendalami lagi bagaimana peristiwa dari adanya
politik aliran tetap eksis dan memiliki pengaruh yang besar dalam diri masyarakat di
Jawa timur dalam menentukan pilihan mereka dalam pemilihan umum tahun 2019 ini.
hal ini juga dapat menunjukkan bahwa terdapat polarisasi yang sudah bertahan lama
dan pasti memiliki sebuah sumbu yang memicu terjadinya pengaruh-pengaruh yang
begitu luas sebagai akar dari politik aliran tersebut.
PEMBAHASAN
A. Politik Aliran
Dalam gambaran umumnya politik aliran merupakan sebuah bentuk dari
adanya pemisahan-pemisahan antara beberapa golongan yang kemudian masuk
kedalam ruang politik sehingga dari hal tersebut muncul istilah golongan abangan dan
golongan santri yang masih sangat kental dan banyak di jumpai di wilayah Jawa Timur
dan Jawa Tengah. Namun sebelum membahas lebih lanjut lagi, hal yang perlu kita
ketahui adalah faktor sejarah yang melatarbelakangi munculnya politik aliran ini
sehingga kita dapat mengetahui dengan jelas bagaimana proses terjadinya kontestasi
politik pada masa lampau.
Menurut Geertz , Masyarakat jawa dilihat sebagai suatu sistem sosial, dnegan
kebudayaan jawanya yang akulturatif dan agama yang sinkretik, yang terdiri atas sub
kebudayaan jawa yang masing-masing merupakan struktur sosial yang berlawanan.
Dari hal ini, dapat diketahui bahwa faktor agama dan budaya merupakan faktor utama
yang mempengaruhi munculnya politik aliran tersebut. Kuatnya pengaruh agama di
wilayah Jawa Timur yang memang merupakan tempat pondok pesantren yang paling
banyak memiliki santri sehingga hal tersebut dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan
suara lewat simbol-simbol keagamaan dan budaya.
Apabila Greetz membahas mengenai politik aliran yang masih sebelum
kemerdekaan, maka terbentuknya aliran pada zaman kemerdekaan memiliki motif
berbeda. Menurut R. William Liddle , terjadi dalam konteks Culture Stelsel, sistem
pertanian tanam paksa, ketika sejak awal abad ke-19 Belanda memaksa para petani di
Jawa menanam tebu, tembakau, dan kopi yang akan di ekspor ke luar hindia belanda.
Namun, penjajah itu berusaha sekaligus melindungi atau melesetarikan struktur dan
politik tradisional orang jawa. Dari hal ini terlihat bahwa pengaruh yang sangat besar
juga diberikan oleh orang-orang penjajah dalam memberikan identitas terhadap
penduduk di Jawa. Maka memang sangat memungkinkan bila terjadinya politik aliran
tidak terlepas dari pengaruh orang-orang luar yang pernah singgah ke Pulau Jawa
pada beberapa abad sebelum kemerdekaan dan masih tetap dipakai hingga
kemerdekaan.
Greetz kemudian membagi masyarakat di daerah jawa kedalam tiga varian
sosial budaya : abangan, santri, dan priyayi. Saat menjelaskan dalam bukunya yang
berjudul Religion Of Java terdapat perbedaan yang cukup umum diatara ketiganya,
yaitu:
“abangan mewakili suatu penekanan kepada aspek-aspek animistis dari seluruh
sinkretisme jawa dan secara luas berkaitan dengan unsur petani di kalangan
penduduk. Santri mewakili suatu penekanan kepada aspek-aspek islam dari
sinkretisme diatas dan pada umumnya berkaitan dengan unsur dagang ( juga unsur
unsur tertentu dalam kelompok petani) dan priyayi menekankan pada aspek-aspek
hinduistis dan berkaitan dengan unsur birokrasi).”
Dengan demikian, kentalnya unsur budaya Jawa menjadi tolak ukur bagaimana
politik aliran terbentuk, sedangkan juga kita melihat dari ketiga golongan tersebut,
tentu yang menjadi minoritas adalah golongan priyayi apabila dikaitkan dengan masa
sekarang, karena keberadaan islam telah merubah seluruh budaya yang ada di Jawa
dan kepercayaan terhadap hinduistis juga semakin menghilang. Sedangkan jika
melihat dari golongan abangan, maka masih banyak sekali orang yang mengklaim diri
mereka ataupun diklaim sebagai abangan. Hal ini karena pengaruh dari akulturasi
antara islam dan hindu tersebut menimbulkan pandangan masyarakat menjadi kabur,
sehingga mereka lebih memandang islam dengan pandangan sekuler. Dimana
mereka tetap menjalankan syariat islam, namun tetap melakukan tindakan yang
dilakukan nenek moyang mereka walaupun hal tersebut bertentangan dengan agama
islam itu sendiri.
Dengan demikian politik aliran adalah kelompok sosial budaya yang menjelma
sebagai organisasi politis. Menurut Bahtiar Effendi , Geertz memaparkan aliran
sebagai “suatu partai politik yang dikelilingi oleh satuan organisasi-organisasi sukarela
yang formal maupun tidak formal berkaitan dengannya...[aliran] adalah
pengelompokan organsisasi secara nasional.... yang menganut arah dan posisi
ideologis yang sama. Dari hal tersebut, kita dapat melihat bahwa partai politik dapat
diketahui alirannya dengan melihat organisasi apa yang berada dibalik partai politik
tersebut. Namun sebenarnya organisasi tersebut hanya organisasi sukarela yang tidak
terlalu ikut campur kedalam permasalahan politik yang lebih mendalah, salah satu
yang bisa kita lihat adalah Muhammadiyyah yang melatar belakangi terbentuknya PAN
(Partai Amanat Nasional) dan juga Nahdatul Ulama yang melatarbelakangi
terbentuknya PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Walaupun organisasi ini sekedar
organisasi sukarela, akan tetapi masing-masing memiliki pengaruh yang sangat kuat
dalam masyarakat di daerah Jawa. Walaupun pengaruh mereka sebenarnya bukanlah
pengaruh yang mengarah terhadap fenomena politik, namun hal inilah yang sering
dimanfaatkan oleh beberapa poltisi untuk mendapatkan suara terbanyak, walaupun itu
belum tentu berpengaruh, namun kemungkinannya sangat besar untuk mendapatkan
suara apabila memanfaatkan politik aliran sebagai isu dalam pemilu.
D. Politik Aliran Dalam Pemilu 2019
Eksistensi dari politik aliran memang masih terasa kental di daerah Jawa Timur.
Ini dikarenakan faktor historis yang melatarbelakangi mereka dalam mengikuti
kontestasi pemilu dimana mereka saling membentuk oraganisasi masing-masing untuk
memberikan identitas mereka kepada publk. Dalam pemilu tahun 2019 ini pun masih
sangat terlihat pengaruh dari adanya politik aliran yang dipakai oleh para politisi untuk
memenangkan dirinya dalam kontestasi pemilu tahun 2019. Hal ini juga terlihat dari
salah satu capres yang sangat membawa politik aliran dalam pencalonannya, dimana
sang presiden berasal dari partai yang dianggap maysarakat merupakan partai
abangan dan wakilanya merupakan seorang perwakilan dari golongan santri.
Bila kita melihat lebih jauh lagi, maka dengan adanya pasangan abangan dan
santri ini dapat membuat sejarah pada masa lalu yang menjelaskan bahwa kedua
golongan ini saling bersebrangan, maka ketika mereka dapat disatukan, pastinya hal
ini akan membuat masyarakat yang memberikan suaranya untuk pasangan ini akan
sangat banyak. Karena politik aliran ini sangat eksis di wilayah Jawa Timur maupun
Jawa Tengah, maka bisa dipastikan mereka akan memperoleh suara terbanyak di
kedua wilayah ini. walaupun mampu menarik suara yang banyak namun hal ini juga
memiliki resiko yang tinggi, ketika terjadi adu domba atau memicu hal-hal yang dapat
memecah belah kedua pihak maka bisa dipastikan konflik yang berkepanjangan akan
terjadi dan suara yang banyak itupun menjadi hangus.
Sementara itu, bila kita kembali menilik pada tahun 2018, politik aliran juga
menjadi pertarungan ketika pemilihan gubernur yang terjadi di Jawa Timur, dimana
kedua paslon merupakan perwakilan yang sama dari golongan santri. Hal ini tentu
akan menimbulkan perpecahan pilihan diantara santri-santri tersebut, karena mereka
harus mengikuti apa yang diperintahkan oleh ulama untuk memilih salah satu wakil
yang telah direkomendasikan. Hal inilah yang kemudian menjadi sesuatu yang
membingungkan, ketika kedua paslon sama-sama merupakan perwakilan dari ulama,
maka yang mana yang harus dipilih oleh golongan santri adalah hal yang begitu
menyulitkan. Namun, untuk golongan abangan sendiri, walaupun pemimpin mereka
bersalah dari golongan santri, setidaknya mereka akan melihat wakil mereka berasal
dari golongan apa. Hal yang menarik dari pemilihan Gubernur di Jawa Timur ini,
walapun Saifullah yusuf berasal dari santri dan puti yang berasal dari abangan, namun
pemilu tersebut tetap dimenangkan oleh Khofifah dan Emil yang notabene nya sama
sama berasal dari golongan santri. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa golongan
abangan juga mampu untuk melihat situasi, mampu untuk mempertimbangkan dan
tidak asal memilih dari mana mereka berasal apakah dari golongan abangan atau
santri mungkin sudah tidak menjadi permasalahan yang begitu serius sehingga
mereka memilih benar-benar murni atas kehendak mereka sendiri.
PENUTUP
KESIMPULAN
Adanya politik aliran memang sudah tidak bisa kita singkirkan, karena itu
merupakan faktor yang sudah dibuat oleh kakek nenek kita dulu. Namun yang perlu
kita ambil adalah ketika memang politik aliran tidak dapat dihilangkan dalam kontestasi
pemilu, maka yang perlu kita lakukan adalah mengubah arah politik aliran tersebut
yang awalnya merupakan faktor yang membuat sebuah perpecahan menjadi sebuah
persatuan. Dengan demikian makan akan tercipta demokrasi tanpa ada diskriminasi
terhadap salah satu golongan, karena kita tidak dapat menghilangkan label golongan
tersebut, selama kepercayaan masyarakat terhadap hal tersebut masih sangat kuat.
Oleh karena itu, meskipun terdapat perbedaan yang sangat mencolok dari pilihan
terhadap partai politik, namun rasa persatuan tetap ada dan tidak saling merusak
kebhinekaan yang telah dibangun bersama merupakan cita-cita yang diharapkan oleh
bangsa yang menginginkan persatuan.
Daftar Pustaka
Alatas, Muhammad, Skripsi: “Politik Aliran Dalam Pemilu 2009”. ( Jakarta : UIN
SYARIF HIDAYATULLAH, 2010).
Firmanzah. (2011). Mengelola Partai politik: Komunikasi dan Posisioning Ideologi di
Era Demokrasi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Setiawan, Robi. Politik Aliran Agama Paling Berpengaruh Pada Pilpres 2019.
https://news.detik.com/berita/d-4450316/mpr-politik-aliran-agama-paling-berpengaruh
pada-pilpres-2019. (Diakses pada hari Rabu 9 Mei Pukul 17.48).
Setia, Yunas Novi. Isbahi, Baiqun. “Perbandingan Loyalitas Pemilih Abangan Dan
Santri Terhadap Khofifah Dan Saifullah Yusuf Pada Pemilihan Gubernur Jawa Timur
Tahun 2018”. Jurnal Sosiologi Agama : Vol. 12. No. 1 Januari 2018
Comments
Post a Comment