artikel

DESAKU YANG DULU DENGAN DESAKU YANG SEKARANG

DESAKU YANG DULU DENGAN DESAKU YANG SEKARANG Desa adalah bentuk terkecil dari pemerintahan, sebelum negara ini ada desa lebih dulu ada. Tanpa desa kota mungkin tak akan ada lama, tanpa kota desa akan tetap ada karena sumber pangan banyak berasal dari desa. Dulu desa dikenal dengan alam yang asri, kehidupan masyarakat yang guyup rukun, gotong royong, kayak akan budaya, serta kaya akan hasil  alamnya. Tapi seiring perkembangan zaman perilaku kehidupan masyarakat desa mulai bergeser. Memang dari segi teknologi, pendidikan berkembang tapi sebagian nilai-nilai didesa sudah mulai hilang. Mudahnya mendapatkan informasi dimasa sekarang membuat masyarakat berkembang tapi jika mengambil informasi kurang detail atau tanpa disaring akan mengarah pada hal negative.             Dari segi sosial, dulu komunikasi masyarakat desa dengan tetangga sangat kuat atau memiliki rasa kekeluargaan yang cukup tinggi. Interaksi terus berjalan karena...

Eksistensi Politik Aliran Dalam Kontestasi Pemilu Di Jawa Timur Tahun 2019

Eksistensi Politik Aliran Di Jawa Timur Dalam Kontestasi Pemilu Tahun 2019 

Nama : Izam Bagus Kurniawan 

NIM : 175120607111028 

No Absen : 27 

Abstrak 

Demokrasi telah menjadi sebuah sistem dimana rakyat memiliki kebebasan yang tinggi 
dalam mencapai sebuah negara dengan masyarakat yang tidak memiliki tekanan dari 
negara. Rakyat dianggap sebagai wakil tuhan dengan menggantikan peristiwa 
renaissaince yang otoritas tertingginya berada di tangan pemimpin agama. Dalam hal 
ini, penerapan demokrasi di Indonesia telah mengalami berbagai tahap sebagai uji 
coba untuk mendapatkan tujuan dari demokrasi yang sebenarnya. Politik aliran adalah 
kelompok sosiobudaya yang menjelma sebagai organisaisi politik. Eksistensi dari 
politik aliran memang masih terasa kental di daerah Jawa Timur. Ini dikarenakan faktor 
historis yang melatarbelakangi mereka dalam mengikuti kontestasi pemilu dimana 
mereka saling membentuk oraganisasi masing-masing untuk memberikan identitas 
mereka kepada publk. Dalam pemilu tahun  2019 ini pun masih sangat terlihat 
pengaruh dari adanya politik aliran yang dipakai oleh para politisi untuk memenangkan 
dirinya dalam kontestasi pemilu tahun 2019. Hal ini juga terlihat dari salah satu capres 
yang sangat membawa politik aliran dalam pencalonannya, dimana sang presiden 
berasal dari partai yang dianggap maysarakat merupakan partai abangan dan 
wakilanya merupakan seorang perwakilan dari golongan santri. Namun yang perlu kita 
ambil adalah ketika memang politik aliran tidak dapat dihilangkan dalam kontestasi 
pemilu, maka yang perlu kita lakukan adalah mengubah arah politik aliran tersebut 
yang awalnya merupakan faktor yang membuat sebuah perpecahan menjadi sebuah 
persatuan. 
Kata Kunci : Politik aliran, Demokrasi, Pemilu. 









PENDAHULUAN 
LATAR BELAKANG 

Demokrasi telah menjadi sebuah sistem dimana rakyat memiliki kebebasan 
yang tinggi dalam mencapai sebuah negara dengan masyarakat yang tidak memiliki 
tekanan dari negara. Rakyat dianggap sebagai wakil tuhan dengan menggantikan 
peristiwa renaissaince yang otoritas tertingginya berada di tangan pemimpin agama. 
Dalam hal ini, penerapan demokrasi di Indonesia telah mengalami berbagai tahap 
sebagai uji coba untuk mendapatkan tujuan dari demokrasi yang sebenarnya. Namun, 
dari berbagai tahap tersebut muncul berpagai hal yang sampai sekarang tetap melekat 
dalam diri masyarakat yang membentuk sebuah kelompok-kelompok yang saling 
memiliki rasa perbedaan satu sama lain. Hal ini terjadi karena adanya sebuah konflik 
kecil yang memicu adanya konflik besar sehingga dari beberapa masyarakat memilih 
jalan yang berbeda untuk mewujudkan hal yang mereka yakini merupakan 
kebenaranya. 
  Peristiwa yang paling mencolok dalam hal ini merupakan adanya politik aliran 
yang terjadi di Jawa Timur sekitar tahun 1950-an. Golongan yang sering di kaitkan 
adalah golongan santri yang berasal dari para ulama dan golongan abangan yang 
diaritkan sebagai islam yang memiliki sifat melenceng dari agama islam itu sendiri. Hal 
ini masih menjadi pengaruh kuat dalam pikiran masyarakat untuk memilih dari 
golongan apa para wakil yang akan mereka pilih. Hal ini sangat menarik karena tradisi 
yang telah ada sejak tahun 1950 tersebut masih tetap dilakukan oleh beberapa 
masyarakat di Jawa Timur dan pasti dibalik hal tersebut ada kelompok tertentu yang 
memanfaatkannya untuk melakukan suatu tindakan yang memiliki kentungan yang 
besar. 
 Eksistensi dari politik aliran memang masih terasa kental di daerah Jawa Timur. 
Ini dikarenakan faktor historis yang melatarbelakangi mereka dalam mengikuti 
kontestasi pemilu dimana mereka saling membentuk oraganisasi masing-masing untuk 
memberikan identitas mereka kepada publk. Dalam pemilu tahun  2019 ini pun masih 
sangat terlihat pengaruh dari adanya politik aliran yang dipakai oleh para politisi untuk 
memenangkan dirinya dalam kontestasi pemilu tahun 2019. Hal ini juga terlihat dari 
salah satu capres yang sangat membawa politik aliran dalam pencalonannya, dimana 
sang presiden berasal dari partai yang dianggap maysarakat merupakan partai 
abangan dan wakilanya merupakan seorang perwakilan dari golongan santri. Hal ini 
yang kemudian membuat politik aliran kembali menjadi fokus utama dalam masyarakat 
di Jawa Timur, karena kepercayaan mereka tetap utuh, meski telah mengalami 
pergantian zaman yang cukup jauh. 
 Adanya politik aliran memang sudah tidak bisa kita singkirkan, karena itu 
merupakan faktor yang sudah dibuat oleh kakek nenek kita dulu. Namun yang perlu 
kita ambil adalah ketika memang politik aliran tidak dapat dihilangkan dalam kontestasi 
pemilu, maka yang perlu kita lakukan adalah mengubah arah politik aliran tersebut 
yang awalnya merupakan faktor yang membuat sebuah perpecahan menjadi sebuah 
persatuan. Dengan demikian makan akan tercipta demokrasi tanpa ada diskriminasi 
terhadap salah satu golongan, karena kita tidak dapat menghilangkan label golongan 
tersebut, selama kepercayaan masyarakat terhadap hal tersebut masih sangat kuat. 
Tujuan 
Tulisan ini ditujukan untuk lebih mendalami lagi bagaimana peristiwa dari adanya 
politik aliran tetap eksis dan memiliki pengaruh yang besar dalam diri masyarakat di 
Jawa timur dalam menentukan pilihan mereka dalam pemilihan umum tahun 2019 ini. 
hal ini juga dapat menunjukkan bahwa terdapat polarisasi yang sudah bertahan lama 
dan pasti memiliki sebuah sumbu yang memicu terjadinya pengaruh-pengaruh yang 
begitu luas sebagai akar dari politik aliran tersebut. 













PEMBAHASAN 

A. Politik Aliran 
 Dalam gambaran umumnya politik aliran merupakan sebuah bentuk dari 
adanya pemisahan-pemisahan antara beberapa golongan yang kemudian masuk 
kedalam ruang politik sehingga dari hal tersebut muncul istilah golongan abangan dan 
golongan santri yang masih sangat kental dan banyak di jumpai di wilayah Jawa Timur 
dan Jawa Tengah. Namun sebelum membahas lebih lanjut lagi, hal yang perlu kita 
ketahui adalah faktor sejarah yang melatarbelakangi munculnya politik aliran ini 
sehingga kita dapat mengetahui dengan jelas bagaimana proses terjadinya kontestasi 
politik pada masa lampau. 
 Menurut Geertz , Masyarakat jawa dilihat sebagai suatu sistem sosial, dnegan 
kebudayaan jawanya yang akulturatif dan agama yang sinkretik, yang terdiri atas sub 
kebudayaan jawa yang masing-masing merupakan struktur sosial yang berlawanan. 
Dari hal ini, dapat diketahui bahwa faktor agama dan budaya merupakan faktor utama 
yang mempengaruhi munculnya politik aliran tersebut. Kuatnya pengaruh agama di 
wilayah Jawa Timur yang memang merupakan tempat pondok pesantren yang paling 
banyak memiliki santri sehingga hal tersebut dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan 
suara lewat simbol-simbol keagamaan dan budaya.  
 Apabila Greetz membahas mengenai politik aliran yang masih sebelum 
kemerdekaan, maka terbentuknya aliran pada zaman kemerdekaan memiliki motif 
berbeda. Menurut R. William Liddle , terjadi dalam konteks Culture Stelsel, sistem 
pertanian tanam paksa, ketika sejak awal abad ke-19 Belanda memaksa para petani di 
Jawa menanam tebu, tembakau, dan kopi yang akan di ekspor ke luar hindia belanda. 
Namun, penjajah itu berusaha sekaligus melindungi atau melesetarikan struktur dan 
politik tradisional orang jawa. Dari hal ini terlihat bahwa pengaruh yang sangat besar 
juga diberikan oleh orang-orang penjajah dalam memberikan identitas terhadap 
penduduk di Jawa. Maka memang sangat memungkinkan bila terjadinya politik aliran 
tidak terlepas dari pengaruh orang-orang luar yang pernah singgah ke Pulau Jawa 
pada beberapa abad sebelum kemerdekaan dan masih tetap dipakai hingga 
kemerdekaan. 
 Greetz kemudian membagi masyarakat di daerah jawa kedalam tiga varian 
sosial budaya : abangan, santri, dan priyayi. Saat menjelaskan dalam bukunya yang 
berjudul Religion Of Java terdapat perbedaan yang cukup umum diatara ketiganya, 
yaitu: 
 “abangan mewakili suatu penekanan kepada aspek-aspek animistis dari seluruh 
sinkretisme jawa dan secara luas berkaitan dengan unsur petani di kalangan 
penduduk. Santri mewakili suatu penekanan kepada aspek-aspek islam dari 
sinkretisme diatas dan pada umumnya berkaitan dengan unsur dagang ( juga unsur
unsur tertentu dalam kelompok petani) dan priyayi menekankan pada aspek-aspek 
hinduistis dan berkaitan dengan unsur birokrasi).”  
 Dengan demikian, kentalnya unsur budaya Jawa menjadi tolak ukur bagaimana 
politik aliran terbentuk, sedangkan juga kita melihat dari ketiga golongan tersebut, 
tentu yang menjadi minoritas adalah golongan priyayi apabila dikaitkan dengan masa 
sekarang, karena keberadaan islam telah merubah seluruh budaya yang ada di Jawa 
dan kepercayaan terhadap hinduistis juga semakin menghilang. Sedangkan jika 
melihat dari golongan abangan, maka masih banyak sekali orang yang mengklaim diri 
mereka ataupun diklaim sebagai abangan. Hal ini karena pengaruh dari akulturasi 
antara islam dan hindu tersebut menimbulkan pandangan masyarakat menjadi kabur, 
sehingga mereka lebih memandang islam dengan pandangan sekuler. Dimana 
mereka tetap menjalankan syariat islam, namun tetap melakukan tindakan yang 
dilakukan nenek moyang mereka walaupun hal tersebut bertentangan dengan agama 
islam itu sendiri. 
 Dengan demikian politik aliran adalah kelompok sosial budaya yang menjelma 
sebagai organisasi politis.  Menurut Bahtiar Effendi , Geertz memaparkan aliran 
sebagai “suatu partai politik yang dikelilingi oleh satuan organisasi-organisasi sukarela 
yang formal maupun tidak formal berkaitan dengannya...[aliran] adalah 
pengelompokan organsisasi secara nasional.... yang menganut arah dan posisi 
ideologis yang sama. Dari hal tersebut, kita dapat melihat bahwa partai politik dapat 
diketahui alirannya dengan melihat organisasi apa yang berada dibalik partai politik 
tersebut. Namun sebenarnya organisasi tersebut hanya organisasi sukarela yang tidak 
terlalu ikut campur kedalam permasalahan politik yang lebih mendalah, salah satu 
yang bisa kita lihat adalah Muhammadiyyah yang melatar belakangi terbentuknya PAN 
(Partai Amanat Nasional) dan juga Nahdatul Ulama yang melatarbelakangi 
terbentuknya PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Walaupun organisasi ini sekedar 
organisasi sukarela, akan tetapi masing-masing memiliki pengaruh yang sangat kuat 
dalam masyarakat di daerah Jawa. Walaupun pengaruh mereka sebenarnya bukanlah 
pengaruh yang mengarah terhadap fenomena politik, namun hal inilah yang sering 
dimanfaatkan oleh beberapa poltisi untuk mendapatkan suara terbanyak, walaupun itu 
belum tentu berpengaruh, namun kemungkinannya sangat besar untuk mendapatkan 
suara apabila memanfaatkan politik aliran sebagai isu dalam pemilu. 
D. Politik Aliran Dalam Pemilu 2019 
 Eksistensi dari politik aliran memang masih terasa kental di daerah Jawa Timur. 
Ini dikarenakan faktor historis yang melatarbelakangi mereka dalam mengikuti 
kontestasi pemilu dimana mereka saling membentuk oraganisasi masing-masing untuk 
memberikan identitas mereka kepada publk. Dalam pemilu tahun  2019 ini pun masih 
sangat terlihat pengaruh dari adanya politik aliran yang dipakai oleh para politisi untuk 
memenangkan dirinya dalam kontestasi pemilu tahun 2019. Hal ini juga terlihat dari 
salah satu capres yang sangat membawa politik aliran dalam pencalonannya, dimana 
sang presiden berasal dari partai yang dianggap maysarakat merupakan partai 
abangan dan wakilanya merupakan seorang perwakilan dari golongan santri.  
 Bila kita melihat lebih jauh lagi, maka dengan adanya pasangan abangan dan 
santri ini dapat membuat sejarah pada masa lalu yang menjelaskan bahwa kedua 
golongan ini saling bersebrangan, maka ketika mereka dapat disatukan, pastinya hal 
ini akan membuat masyarakat yang memberikan suaranya untuk pasangan ini akan 
sangat banyak. Karena politik aliran ini sangat eksis di wilayah Jawa Timur maupun 
Jawa Tengah, maka bisa dipastikan mereka akan memperoleh suara terbanyak di 
kedua wilayah ini. walaupun mampu menarik suara yang banyak namun hal ini juga 
memiliki resiko yang tinggi, ketika terjadi adu domba atau memicu hal-hal yang dapat 
memecah belah kedua pihak maka bisa dipastikan konflik yang berkepanjangan akan 
terjadi dan suara yang banyak itupun menjadi hangus. 
 Sementara itu, bila kita kembali menilik pada tahun 2018, politik aliran juga 
menjadi pertarungan ketika pemilihan gubernur yang terjadi di Jawa Timur, dimana 
kedua paslon merupakan perwakilan yang sama dari golongan santri. Hal ini tentu 
akan menimbulkan perpecahan pilihan diantara santri-santri tersebut, karena mereka 
harus mengikuti apa yang diperintahkan oleh ulama untuk memilih salah satu wakil 
yang telah direkomendasikan. Hal inilah yang kemudian menjadi sesuatu yang 
membingungkan, ketika kedua paslon sama-sama merupakan perwakilan dari ulama, 
maka yang mana yang harus dipilih oleh golongan santri adalah hal yang begitu 
menyulitkan. Namun, untuk golongan abangan sendiri, walaupun pemimpin mereka 
bersalah dari golongan santri, setidaknya mereka akan melihat wakil mereka berasal 
dari golongan apa. Hal yang menarik dari pemilihan Gubernur di Jawa Timur ini, 
walapun Saifullah yusuf berasal dari santri dan puti yang berasal dari abangan, namun 
pemilu tersebut tetap dimenangkan oleh Khofifah dan Emil yang notabene nya sama
sama berasal dari golongan santri. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa golongan 
abangan juga mampu untuk melihat situasi, mampu untuk mempertimbangkan dan 
tidak asal memilih dari mana mereka berasal apakah dari golongan abangan atau 
santri mungkin sudah tidak menjadi permasalahan yang begitu serius sehingga 
mereka memilih benar-benar murni atas kehendak mereka sendiri. 


















PENUTUP 
KESIMPULAN 

Adanya politik aliran memang sudah tidak bisa kita singkirkan, karena itu 
merupakan faktor yang sudah dibuat oleh kakek nenek kita dulu. Namun yang perlu 
kita ambil adalah ketika memang politik aliran tidak dapat dihilangkan dalam kontestasi 
pemilu, maka yang perlu kita lakukan adalah mengubah arah politik aliran tersebut 
yang awalnya merupakan faktor yang membuat sebuah perpecahan menjadi sebuah 
persatuan. Dengan demikian makan akan tercipta demokrasi tanpa ada diskriminasi 
terhadap salah satu golongan, karena kita tidak dapat menghilangkan label golongan 
tersebut, selama kepercayaan masyarakat terhadap hal tersebut masih sangat kuat. 
Oleh karena itu, meskipun terdapat perbedaan yang sangat mencolok dari pilihan 
terhadap partai politik, namun rasa persatuan tetap ada dan tidak saling merusak 
kebhinekaan yang telah dibangun bersama merupakan cita-cita yang diharapkan oleh 
bangsa yang menginginkan persatuan. 















Daftar Pustaka

Alatas, Muhammad, Skripsi: “Politik Aliran Dalam Pemilu 2009”. ( Jakarta : UIN
SYARIF HIDAYATULLAH, 2010).
Firmanzah. (2011). Mengelola Partai politik: Komunikasi dan Posisioning Ideologi di
Era Demokrasi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Setiawan, Robi. Politik Aliran Agama Paling Berpengaruh Pada Pilpres 2019.
https://news.detik.com/berita/d-4450316/mpr-politik-aliran-agama-paling-berpengaruh
pada-pilpres-2019. (Diakses pada hari Rabu 9 Mei Pukul 17.48).
Setia, Yunas Novi. Isbahi, Baiqun. “Perbandingan Loyalitas Pemilih Abangan Dan
Santri Terhadap Khofifah Dan Saifullah Yusuf Pada Pemilihan Gubernur Jawa Timur
Tahun 2018”. Jurnal Sosiologi Agama : Vol. 12. No. 1 Januari 2018

Comments