artikel

DESAKU YANG DULU DENGAN DESAKU YANG SEKARANG

DESAKU YANG DULU DENGAN DESAKU YANG SEKARANG Desa adalah bentuk terkecil dari pemerintahan, sebelum negara ini ada desa lebih dulu ada. Tanpa desa kota mungkin tak akan ada lama, tanpa kota desa akan tetap ada karena sumber pangan banyak berasal dari desa. Dulu desa dikenal dengan alam yang asri, kehidupan masyarakat yang guyup rukun, gotong royong, kayak akan budaya, serta kaya akan hasil  alamnya. Tapi seiring perkembangan zaman perilaku kehidupan masyarakat desa mulai bergeser. Memang dari segi teknologi, pendidikan berkembang tapi sebagian nilai-nilai didesa sudah mulai hilang. Mudahnya mendapatkan informasi dimasa sekarang membuat masyarakat berkembang tapi jika mengambil informasi kurang detail atau tanpa disaring akan mengarah pada hal negative.             Dari segi sosial, dulu komunikasi masyarakat desa dengan tetangga sangat kuat atau memiliki rasa kekeluargaan yang cukup tinggi. Interaksi terus berjalan karena...

Kontestasi Pemilu Legislatif di Indonesia Tahun 2014 Sebagai Acuan Pemilu Legislatif 2019

                               Proses dan Hasil Pemilihan Umum Legislatif
            
          Pemilu diakui secara global sebagai sebuah arena untuk membentuk demokrasi parwakilan serta menggelar pergantian pemerintahan secara berkala. Menurut teori demokrasi minimalis (Schumpetrian), pemilu merupakan sebuah arena yang mewadahi kompetisi antara aktor politik untuk meraih kekuasaan; partisipasi politik rakyat untuk menentukan pilihan; liberalisasi hak-hak sipil dan politik warga negara.[1]
Demokrasi merupakan sebuah sistem yang menjadi cukup ideal pada era sekarang terutama di Indonesia. Dikarenakan Indonesia yang dulunya lebih cenderung menganut sistem otokratik pada masa kepemimpinan Soeharto, hal tersebut dirasa tidak membuat rakyat dapat dengan bebas untuk memberikan pendapat dalam pelaksanaan pemerintahan. Hasilnya pada tahun 1999 terjadi reformasi politik di Indonesia yang mengakibatkan perubahan sistem pemerintahan yang berubah menjadi demokrasi. Hal ini terlihat dari bentukan yang dibuat oleh reformasi yaitu pemilu yang awalnya dikontrol oleh pemerintah menjadi bebas, jujur, dan adil.
Sejak berhasilnya melakukan perubahan terhadap sistem pemilihan umum tersebut, Indonesia telah mengadakan pemilihan umum yang demokratis sebanyak 4 kali yaitu, 1999, 2004, 2009, 2014. Namun, ketika pemilu pertama para era reformasi dilaksanakan, presiden masih belum dipilih secara langsung oleh rakyat seperti sekarang, melainkan dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Umumnya pemilu di Indonesia diadakan sebanyak dua tahap, yaitu pemilihan legislatif dan Pemilihan Presiden atau eksekutif. Pemilu legislatif lebih dulu diadakan daripada pemilu eksekutif dengan jarak sekitar tiga bulan.
            Bila dilihat pada pemilu yang dilaksanakan tanggal 9 April 2014 berjalan dengan tertib dan aman, walaupun masih terdapat banyak kekurangan yang terjadi dalam penyelenggaraannya. Hal yang masih menjadi permasalahan dalam pemilu tahun 2014 yaitu permasalahan logistik, mulai dari surat suara yang tidak sampai ke tujuan, surat suara yang masih kurang maupun hilang, surat yang rusak, hingga surat suara yang tertukar dengan TPS lain. Hal yang juga menjadi permasalahan yaitu terlambatnya surat suara untuk sampai ke TPS, ini terjadi di daerah yang sulit untuk dijangkau seperti di Provinsi Papua Barat.[2] Selain lokasinya yang sulit dijangkau juga keadaan cuaca yang tidak memungkinkan untuk mengirimkan surat suara juga menjadi penyebabnya.
            Walaupun terjadi banyak kendala dalam pemilu legislatif yang diadakan pada 9 April 2014, secara umum pemilu tersebut dapat dikatakan berhasil. Hal ini dikarenakan keterlibatan dari pemilih yang semakin bertambah dibandingkan pemilihan lima tahun sebelumnya.  Meskipun pada tahun 2004, keterlibatan pemillih pada pemilu legislatif mencapai 84,07%. Namun pada tahun 2009 angka tersebut menurun menjadi 70,96%.[3] Persentase yang lebih tinggi dibandingkan pemilu sebelumnya diakibatkan oleh meningkatnya angka pemilih yang berjumlah 30% dari seluruh pemilih terdaftar.
Terdapat 13 partai politik yang ikut berpartisipasi dalam pemilu legislatif tahun 2014 untuk meraih dukungan dari rakyat. Partai-partai tersebut adalah Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golongan Karya, Partai Gerakan Indonesia Raya, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Hati Nurani Rakyat, Partai Bulan Bintang dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia. Berikut merupakan peroleh suara sekaligus perbandingan suara yang diperoleh dari beberapa partai pada pemilu legislatif 2009 dan 2014:

No

Parpol
Perolehan Suara Pemilu (%)

Perolehan Suara
2009
2014
1
Nasdem
0
6,7
+ 6,7
2
PKB
4,95
9,13
+4,18
3
PKS
7,89
6,99
      -0,9
4
PDIP
14,01
19,24
+5,23
5
Golkar
14,45
15,03
+0,58
6
Gerindra
4,46
11,75
+7,29
7
Demokrat
20,81
9,42
-11.29
8
PAN
6,03
7,49
+1.46





Sumber: Jurnal Politika Vol. 10. No 1 Tahun 2014 (Membangun Kepemimpinan Politik).
Tabel 1. Perbadingan Perolehan Suara Pada Pemilu 2009 dan 2014
            Apabila dilihat dari perolehan suara diatas, terjadi peningkatan pada partai PDIP walaupun pada waktu itu partai tersebut sedang mengalami permasalahan terkait dengan kasus wisma atlet di Hambalang Bogor. Sementara penurunnya yang cukup banyak terjadi pada Partai Demokrat, akibat penurunan tersebut limpahan suara yang hilang dari demokrat diambil oleh partai Gerindra, Nasdem, dan PDIP.[4] Ini dikarenankan ketiga partai tersebut yang memiliki ideologi sama dengan Partai Demokrat, yaitu bercorak nasionalis. Terlihat juga dari partai PKB yang mengalami peningkatan yang sebelumnya sempat menurun dikarenakan terpecahnya kubu partai menjadi 2 (kubu muhaimin iskandar dan kubu yeni wahid). Partai Nasdem yang waktu itu diprediksi tidak akan mendapat suara pada pemilu legislatif 2014 ternyata memperoleh 6,7% suara. Kemunculan Nasdem langsung mampu mendapatkan suara yang cukup banyak untuk partai pendatang. Sementara dari Partai Demokrat juga terlihat tengah mengalami penurunan, salah satu faktor yang dianggap menjadi penyebab penurunan perolehan suara Partai Demokrat yaitu dikarenakan SBY yang sudah tidak dapat mencalonkan diri lagi menjadi presiden.
            dengan merujuk pada persyaratan batas ambang parlemen, (parlementary threshold), maka terdapat 10 partai yang bisa diperkenankan untuk mewakili rakyat Indonesia lima tahun mendatang yaitu PDIP, Golkar, Gerindra, PD, PKB, PAN, Nasdem, PKS, PPP, dan Hanura. Sedangkan PBB dan PKPI tidak mampu untuk meloloskan diri dari ambang batas parlemen. Apabila dilihat dari hasil tersebut, dapat diketahui bahwa masyarakat Indonesia terfragmentasi secara politik. Hal ini dapat dikarenakan adanya kekuatan politik mayoritas yang ada di lembaga legislatif. Akibatnya, tidak ada satupun partai yang mampu menjalankan pemerintahan tanpa berkoalisi dengan partai lain. Inilah yang menyebabkan kartelisasi pada sistem kepartaian di Indonesia.[5]
            Sementara itu, terdapat kerjasama dari  berbagai partai agar dapat menambah elektabilitasnya dalam pemilu yaitu dengan cara melakukan koalisi. Koalisi partai bukan hanya sebagai jalan keluar dalam mengatasi kurangnya suara partai untuk mengajukan calonnya dalam bursa pemilu presiden nantinya, tetapi juga sebagai area untuk menciptakan kestabilan dalam politik di pemerintahan. Hal ini terjadi karena sistem presidensial yang dikombinasikan dengan sistem multi-partai. Karena dengan adanya kestabilan tidak akan terjadi dominasi yang dilakukan baik dari pemerintah maupun dari pihak oposisi. Oleh sebab itulah, jalan keluar agar tidak terjadi ketidakstabilan politik, maka partai politik pemenang pemilu harus melakukan kolaborasi politik dalam bentuk koalisi.




[1] Liando, M. Daud. “Pemilu dan Partisipasi Politik Masyarakat”. Jurnal LPPM Bidang EkoSosBudKum. Vol. 3. No. 2 Tahun 2016. Hlm. 16.
[2] Wahono, Puji. “Menimbang Kepemimpinan Politik”. Jurnal Pencerahan Politik untuk Demokrasi. Vol. 10. No 1 Tahun 2014. Hlm. 9.
[3] Wahono, Puji. Ibid. Hlm. 12.
[4] Wahono, Puji. Ibid. Hlm. 17.
[5] Wahono, Puji. Ibid, Hlm 19.

Comments